Menyelamatkan Arsip Pers Sumatera Barat dari Revolusi hingga Pasca Reformasi
Tabloidbijak.co - Para mantan dan pengelola koran di Sumatera Barat diundang Pusindok (Pusat Informasi dan Dokumentasi Kesejarahan) Universitas Andalas pada acara Focus Group Discussion (FGD) tentang "Pers Sumatera Barat dari Revolusi hingga Pasca Reformasi”.
“Kami diminta memberikan masukan tentang informasi yang berkaitan dengan data koran atau surat kabar yang pernah kami kelola atau kami ketahui di masa lalu, kata Nasrul Azwar di sebuah hotel di Jalan Sudirman Padang, Selasa (29/10/20224).
Acara yang dimoderatori Nasrul Azwar, yang sehari hari dipanggil Mak Naih (Mak Naih pernah dulu di Bukittinggi Pos), menghadirkan Khairul Jasmi dan Wannofri Samry sebagai pembicara.
Pusindok Unand diketuai Dr. Wannofri Samry, M.Hum, seorang doktor sejarah dengan spesialisasi sejarah pers. Disertasinya tentang sejarah pers di Sumatera Utara. Karena itu pula ia sangat peduli dengan sejarah pers di Sumatera Barat.
Perjalanan pers di Sumatera Barat ini termasuk terlama di Indonesia dan lumayan banyak, umumnya dimiliki dan dikelola pengusaha dan wartawan lokal.
Ada yang bertahan dari sejak terbit, seperti Haluan dan Singgalang (juga kemudian koran-koran group Jawa Pos, seperti Padang Ekspres). Ada juga yang berumur pendek.
Tulang punggung sejarah pers adalah produk pers itu sendiri.
Celakanya, di Sumatera Barat pengarsipan pers cetak tidak begitu bagus. Jangankan digitalisasi, arsip cetaknya saja banyak yang tidak lengkap. Inilah tantangan terberat Wannofri dan tim, yaitu menemukan bukti cetak koran-koran atau majalah yang pernah terbit di Sumatera Barat. Terlebih ia memulai dengan rentang periodesasi yang cukup panjang, sejak zaman Revolusi hingga Pasca Reformasi.
Ada ratusan media pada daftar yang dibuat Pusindok Unand. Sebagian besar sulit ditemukan bukti cetaknya. Para pemilik dan pengelola media umumnya kurang memprioritaskan pengarsipan.
Di lembaga perpustakaan dan pengarsipan daerah koran-koran yang mereka langgani, konon, banyak yang dijual kiloan tanpa sempat diarsipkan secara digital.
Padahal, kata pelaku sejarah pers Sumatera Barat, setiap selesai terbit maka koran tersebut selalu dikirim ke Dinas Arsip dan Perpustakaan Sumatera Barat.
Entah karena alasan sudah 5 tahun tersimpan, maka seluruh koran itu dimusnahkan atau dikilokan. Buktinya, tidak seberapa ditemukan fisik cetak koran-koran dimaksud.
Apalagi setelah itu terjadi gempa Padang tahun 2009, menjadi alasan kuat seluruh arsip tidak bisa diselamatkan.
Salah satu bukti adalah yang dialaminya sendiri, ia terlibat mendirikan dan mengelola koran mingguan Bukittinggi Pos sebagai Wakil Pemimpin Redaksi pada tahun 2000.
Arsip di tangannya hanya tinggal satu, itupun edisi 16 halaman, yaitu edisi jeda pada Mei 2000, dari edisi reguler yang biasa 24 halaman.
Mak Naih yang sudah menelusuri ke beberapa teman, termasuk kepada mantan Pemred Uda Adeks Rossyie Mukri tidak menemukan satupun.
Kemarin satu arsip yang dimilikinya itu dipinjamkan kepada Pusindok Unand untuk didigitalisasikan.
Ia juga ikut mendirikan dan mengelola tabloid dwimingguan Puailiggoubat (koran untuk masyarakat Mentawai) dan menjadi Pemred pertama selama 7 tahun (2001-2008).
Ia juga masih menyimpan bundel sebagian besar terbitan di eranya, tapi tidak menyimpan terbitan di era dua pemred berikutnya hingga Puailiggoubat berhenti cetak beberapa tahun silam.
Produk pers tidak hanya berisi kekayaan intelektual, tetapi juga bukti sejarah. Sejarah suatu daerah sangat tergantung kepada berita-berita dan dialektika yang pernah dipublikasikan pers. Jika arsip persnya hilang, maka sebagian sejarah daerah itu akan ikut hilang.
Akibatnya, generasi berikutnya akan kehilangan informasi masa lalu daerah dan nenek moyangnya.
Semoga kita bersama bisa membantu kerja baik dan mulia Doktor Wannofri dan tim di Pusindok Unand.
No comments