Breaking News

Mengungkap Misteri Gundik Belanda di Aceh lewat buku Zentgraf yang berjudul ‘De Atjeh’


Tabloidbijak.co - Menguak misteri perempuan di serambi Makkah, ada catatan mengenai wanita Aceh yang dijadikan gundik oleh para Perwira Belanda tercatat dalam buku karya Zentgraf yang berjudul "De Atjeh". 

Gundik adalah istilah untuk istri tidak resmi atau perempuan simpanan, terutama untuk golongan raja. Perlakuan terhadap gundik bisa bervariasi, tergantung status sosial lelakinya atau sikap istrinya.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata gundik diartikan dengan bini gelap, perempuan peliaraan, dan istri yang tidak pernah dikawin.


Pertama, adalah istri tidak resmi atau selir, dan yang kedua adalah perempuan piaraan (bini gelap). Istilah ini sejatinya turunan kata dari 'pergundikan', yang berarti ikatan hubungan di luar perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki dengan alasan tertentu.


Dalam bukunya ia mencatat, bahwa ketika hubungan Sosial Belanda dan Pribumi Aceh kian meningkat seiring ekspedisi Belanda yang menjangkau pedalaman untuk menumpas para Grilyawan, para Perwira Belanda banyak menjadikan wanita Aceh sebagai gundiknya. 


Menariknya, dalam buku tersebut juga dikisahkan mengenai tujuan mereka menjadikan wanita Aceh sebagai gundiknya, adapun tujuannya salah satunya adalah "Mempelajari Bahasa dan Budaya Aceh" sementara tujuan puncak dari Praktek pergundikan.


Gundik asal Aceh yang paling terkenal dalam sejarah Aceh adalah wanita yang disebut sebagai Istri "Panglima Ulee Lheu Mugoe"


Saat itu suaminya tengah berjuang menjadi gerilyawan, wanita tersebut dijadikan sebagai gundik perwira Belanda.


Mirisnya gundik Aceh itu kemudian membocorkan persembunyian suaminya kepada kekasih Belandanya.


Akibatnya suami sahnya dapat ditangkap oleh Belanda. 


Zuftazani dalam De Atjeh Oorlog (hlm, 438) menyebutkan "Seorang perwira Belanda yang mempunyai gundik dari wanita Aceh.


Gundik itu tidak berkurang hormatnya pada tuannya walaupun tuannya adalah seorang kafir.


Hal ini adalah sebuah kenyataan bahwa Aceh mempunyai lembaran hitam dalam sejarah menentang penjajahan Belanda, wanita Aceh yang menjadi gundik Belanda itu tidak hanya menjual kehormatannya melainkan juga menjual agamanya".


Tidak dapat dipungkiri, bahwa hasil pergundikan antara Perwira Belanda dan wanita Aceh sisa-sisanya masih dapat dilihat sampai sekarang dari sebaran penduduk Aceh yang mempunyai darah keturunan Belanda, mereka umumnya bermata biru dan berkulit putih.


Hanya saja guna menutupi malu mereka terkadang menyebut sebagai keturunan Portugis yang dahulu pernah singgah di Aceh (Kapal Portugis Karam di Aceh) dan ada juga yang beralasan ketika Portugis menakluk Pasai pada Tahun 1521.


Alasan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, mengingat rentang kedatangan Portugis ke Aceh sangat jauh sekali (abad 16-17), sehingga jika keturunan Portugis itu kawin dengan penduduk lokal secara terus menerus selama beberapa generasi akan hilang kekhasan darah dan ciri ke Eropa nya.


Berbeda dengan Belanda yang baru datang ke Aceh pada abad 19, jelas keturunan hasil perkawinan antara perwira Belanda dan gundik Acehnya itu secara genetik masih dapat dilihat di Abad 21 ini. 


Orang-orang keturunan Eropa di Aceh biasanya disebut dengan Istilah "Bulek Lamno", umumnya mereka dianggap sebagai keturunan Portugis, tanpa sama sekali menyebut jika nenek moyang mereka merupakan hasil Kawin campur antara Perwira Belanda dengan wanita Aceh yang dijadikan sebagai gundik tuan Belandanya.

No comments